Sabtu, 31 Maret 2012

Jasa Pembuatan Dokumen Pelaporan UKL-UPL di NTB


Lembaga Penyehatan dan Pelestarian Lingkungan (LPPL) Mataram, melayani Jasa Pembuatan Dokumen Pelaporan UKL-UPL di NTB.
Penyusunan laporan UKL-UPL diwajibkan bagi perusahaan, dalam rangka mengelola lingkungan dengan baik, dan laporan diserahkan ke Badan Lingkungan Hidup Kabupaten untuk mendapat analisis guna penetapan status lingkungan hidup di daerah.
Bagi perusahaan yang telah memiliki dokumen UKL-UPL, dan belum menyusun laporan UKL-UPL, yang berada di wilayah NTB khususnya di wilayah Lombok Barat, Pelaporan UKL-UPL juga dapat difasilitasi melalui LPPL Mataram dan disusun secara sistimatis dan ilmiah disesuaikan dengan Program UKL-UPL yang ada di dalam dokumen UKL-UPL.
Untuk format baku penyusunan laporan UKL-UPL di Kabupaten Lombok Barat adalah sebagai berikut:
silahkan klik link di bawah ini:
PEDOMAN PENYUSUNAN LAPORAN UKL-UPL

Untuk pengurusan dan pembuatan Dokumen Laporan UKL-UPL, Hubungi >>>
LEMBAGA PENYEHATAN DAN PELESTARIAN LINGKUNGAN MATARAM
Contact Person :
Putra : 0817367583
Irfan Handi: 081 805 768 000
email : lpplmataram@yahoo.com

Jumat, 27 Januari 2012

Sekotong, Bukit Emas Pencabut Nyawa

 
WILAYAH Sekotong, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat merupakan kawasan yang menurut peta geologi Pulau Lombok terbentuk dari hasil gunung api. Wilayah ini merupakan kawasan perbukitan bebatuan. Secara klimatologis, Sekotong hanya tampak hijau pada musim penghujan, sedangkan apabila telah memasuki musim kemarau, keadaan berubah menjadi kering-kerontang. Sehingga tak heran jika kawasan ini seringkali dipandang sebelah mata oleh pemerintah. Walaupun demikian, di kawasan kritis dengan ketinggian berkisar 500 hingga 800 meter dari permukaan laut ini memiliki potensi yang luar biasa. Hal yang unik telah terjadi di sekotong. Masyarakat yang pada awalnya bermatapencaharian sebagai nelayan ataupun petani kebun, kini telah banyak berganti profesi menjadi penambang emas.

Hal ini diakibatkan telah ditemukan sumber emas di wilayah perbukitan sekotong. Dalam peta geologi pertambangan, sekotong memiliki potensi kekayaan alam yang menjanjikan seperti emas, tembaga, dan perak. Potensi tambang emas di Sekotong mencapai 1.596 ton dan dapat ditambang selama puluhan tahun. Wilayah sekotong teridnetifikasi memiliki kandungan emas yang memadai, namun tidak dapat dieksploitasi secara resmi karena pemerintah provinsi NTB telah menerbitkan peraturan daerah (perda) nomor 11 tahun 2006 tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi NTB. Pasal 38 perda nomor 11 tahun 2006 tersebut membatasi persetujuan penambangan yang diterbitkan para bupati di Pulau Lombok, sehingga warga setempat nekat melakukan aktivitas penambangan secara ilegal dengan cara-cara tradisional.

Sejak tahun 2008, kawasan gemerlap emas, tembaga dan perak ini ramai didatangi oleh para pemburu emas liar yang berjumlah sekitan 3000 orang. Istilah pemburu emas liar sangat tidak disukai sebab menurut para penambang liar tersebut, keberadaan mereka bukanlah liar namun mereka hanya memanfaatkan kekayaan alam yang tidak dikelola negara. Bagi penambang liar tersebut, bekerja menjadi penambang emas di Sekotong sama dengan berkah, tak perlu ijin kerja dan tak perduli ada atau tidaknya identitas. Yang penting bagi mereka adalah kemauan yang tinggi dengan bermodal tekad yang kuat. Peralatan yang dipakai pun sangat sederhana dan tradisional seperti linggis, palu, betel dan karung (sebagai penampung batu-batuan mengandung serbuk emas). Hal ini merupakan salah satu bukti kelalaian pemerintah.

Berbagai macam bentuk musibah yang menelan korban jiwa telah terjadi akibat penemuan sumber emas tersebut. Musibah pertama terjadi pada bulan Agustus 2008 yang menewaskan tiga korban jiwa. Hingga tahun 2010, bukit emas ini telah memakan korban mencapai puluhan jiwa. Eksistensi bukit emas Sekotong memang dilematis. Peran pemerintah setempat menjadi kian alot. Pemerintah daerah cenderung mendiamkan saja apa yang terjadi terhadap wilayahnya. Hingga kondisi perbukitan di Sekotong telah menjadi lubang-lubang layaknya sarang lebah yang tersebar dari perbukitan hingga sisi bawah perbukitan. Tidak hanya penggalian liar yang dilakukan, tetapi penggunaan raksa juga diikutsertakan dalam penambangan emas tersebut. Hingga dampaknya tidak hanya dirasakan oleh perbukitan Sekotong saja, melainkan juga mengalir menuju pantai yang terletak di sekitar perbukitan. Setelah korban jiwa mencapai puluhan orang dan wilayah perbukitan rusak, barulah kemudian pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melarang penambangan di Sekotong. Sungguh sangat ironis, sumber kekayaan alam yang seharusnya menjadi kebanggaan untuk dikelola dan dikembangkan justru disalahgunakan hingga akhirnya berubah menjadi monster pencabut nyawa.

Oleh karena itu agar kasus pengeksploitasian illegal yang menimbulkan berbagai masalah tidak terulang kembali, maka pemerintah sebaiknya melakukan:
1.Melacak dan meneliti Kekayaan dan Potensi Daerah
Indonesia adalah Negara yang sangat beruntung, karena telah dianugerahi kakayaan alam yang melimpah. Berbagai bentuk sumber daya alam dalam jumlah banyak tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang berbentuk kepulauan. Sehingga setiap pulau Indonesia memiliki kekayaan dan potensi yang berbeda-beda. Dengan kelebihan tersebut seharusnya Indonesia telah mampu bersaing dengan negara-negara maju. Namun sangat disayangkan bahwa pada kenyataannya minat Indonesia untuk mengelola dan mengembangkan kelebihan yang dimilikinya sangatlah rendah. Sehingga kekayaan tersebut hanya terperangkap dan menjadi perhiasan bagi perut bumi. Padahal kekayaan tersebut dapat menjadi senjata ampuh bagi Indonesia untuk menguasai perekonomian dunia.

Oleh karena itu, pemerintah sebagai wakil rakyat hendaklah bersikap tegas, peduli dan bertanggung jawab. Terlebih lagi bagi pemerintah daerah yang telah diberikan kekuasaan penuh untuk mengelola kekayaan daerahnya sendiri melalui otonomi daerah yang diberikan. Terutama bagi pemerintah NTB karena seringkali NTB dipandang sebagai provinsi yang terbelakang dan miskin, padahal apabila diteliti lebih lanjut, NTB merupakan daerah yang memiliki kekayaan dan potensi dalam berbagai bidang. Dengan demikian, agar kekayaan alam tersebut tidak menjadi sia-sia dan bahkan menimbulkan dampak negatif seperti yang tercermin dalam kasus Bukit Emas di Sekotong, maka pemerintah sebaiknya membentuk organisasi-organisasi yang bertugas khusus untuk melacak dan meneliti kekayaan dan potensi daerah yang masih sangat banyak namun belum ditemukan atau pun belum dimanfaatkan secara maksimal. Sangat banyak bukti bahwa Indonesia memandang sebelah mata terhadap kekayaan yang dimilikinya hingga seringkali pihak lain bahkan negara lainlah yang terlebih dahulu menemukan dan mengeksploitasinya.

2.Mengelola Kekayaan dan Potensi Daerah
Apabila semua kekayaan dan potensi telah ditemukan, barulah kemudian pemerintah merencanakan matang-matang berbagai langkah yang akan diambil untuk mengelola kekayaan dan potensi tersebut. Sebelum mengambil langkah pasti terlebih dahulu pemerintah harus memperhitungkan segala kemungkinan yang akan terjadi berupa dampak negatif yang akan ditimbulkan dan dampak positif yang akan diperoleh dari pengolahan sumber daya alam. Dengan demikian, pemerintah akan mendapat gambaran perubahan yang akan terjadi atas pengelolaan SDA tersebut, sehingga pemerintah juga dapat membuat perencanaan untuk mengatasi dampak negatif dan merencanakan pengalokasian keuntungan yang akan didapat.

Dalam hal ini, pemerintah harus bersikap jantan dalam memilih kepengurusan yang akan menangani masalah pengelolaann SDA tersebut agar tidak terjadi kecurangan yang dapat merugikan berbagai pihak. Agar kedua solusi di atas dapat terwujud, maka diperlukan peran dari:

A.Pemerintah

Tentu yang bertanggung jawab untuk menangani pengelolaan SDA adalah pemerintah. Pemerintah dituntut untuk mengkoordinasi, membuat kebijakan dan mengawasi pelaksanaannya. Oleh sebab itu, pemerintah harus bersikap tegas, peduli dan bertanggung jawab. Tegas dalam hal mengambil keputusan yang didasarkan akan kepentingan bersama. Peduli pada rakyat dan peduli pada lingkungan sebagai wujud pengabdian pemerintah dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera. Dan mempertanggungjawabkan kekuasaanya karena dibalik hak yang didapat pemerintah memiliki kewajiban untuk menyejahterakan rakyat dan memajukan negara.

B.Masyarakat
Peran masyarakat juga tidak kalah penting dalam membangun negeri. Dalam hal ini, masyarakat seharusnya mempunyai rasa memiliki bersama yang besar. Sikap mementingkan diri sendiri masyarakat harus dimusnahkan. Kasus bukit emas di Sekotong merupakan salah satu contoh pencerminan bentuk egoisme masyarakat. Dinilah peran budaya dan tradisi sangat diperlukan untuk meningkatkan kebersamaan masyarakat. Karena budaya dan tradisi bersifat kental dan biasanya dilaksanakan oleh masyarakat secara bersama-sama.

Adapun bahan-bahan yang dibutuhkan untuk merealisasikan hal tersebut di atas adalah:
1.Sumber Daya Alam (SDA)
Sumber daya alam telah tersedia melimpah di alam Indonesia. Tugas rakyat Indonesia adalah bagaimana cara memanfaatkan SDA tersebut secara optimal untuk kepentingan bersama. Masih banyak SDA yang tersembunyi dan belum perrnah disentuh oleh tangan-tangan rakyat Indonesia. Baru-baru ini telah ditemukan oleh masyarakat sumber emas yang tak terduga di daerah Sekotong, penemuan ini menimbulkan berbagai masalah, baik masalah sosial, ekonomi bahkan lingkungann. Hal ini merupakan bukti bahwa pemerintah telah kalah start dengan masyarakat dalam hal pengelolaan SDA, sehingga masyarakat merasa memiliki hak untuk mengeksploitasi sumber emas tersebut. Akhirnya, puluhan nyawa harus dikorbankan akibat keserakahan rakyat dan kelalaian pemerintah.

2.Sumber daya manusia (SDM)
Sudah merupakan hal yang tidak bisa disembunyikan lagi bahwa pada kenyataannya Indonesia adalah negara yang memiliki kualitas SDM yang rendah. Oleh karena itu, wajarlah kalau masyarakat banyak yang menjadi korban dalam kasus bukit emas Sekotong karena pengetahuan mereka tentang pertambangan masih sangat dangkal dan mereka hanya mengandalkan otot-otot kekar mereka disertai peralatan yang masih sangat tradisional.

Sebagai generasi penerus bangsa kita tidak boleh hanya berdiam diri saja menghadapi masalah SDM tersebut, agar SDA kita tidak lagi dikuasai oleh para teknisi luar negeri. Pemerintah dan masyarakat harus saling bersinergi, saling mengisi dan saling bahu-membahu untuk memberantas kebodohan. Program-program pemerintah telah banyak membantu masyarakat untuk tetap beredar pada orbit pendidikan. Namun akan menjadi lebih maksimal apabila pemerintah membentuk lembaga-lembaga untuk memberikan keterampilan kepada masyarakat, terutama keterampilan mengolah SDA. Masyarakat yang tergabung dalam lembaga tersebut akan dilatih dan disiapkan untuk bekerja mengolah SDA. Nantinya, tangan-tangan masyarakatt itulah yang akan berbaur dengan SDA Indonesia. Hal ini akan lebih efektif dibandingkan menggunakan teknisi luar negeri.(*)

Langkah-langkah Menghidupkan Undang-undang Lingkungan Hidup


LINGKUNGAN hidup Indonesia yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia, merupakan rahmat dari pada-Nya dan wajib dikembangkan serta dilestarikan kemampuannya agar dapat menjadi sumber dan penunjang hidup bagi Bangsa dan Rakyat Indonesia serta makhluk lainnya, demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri.

Masalah lingkungan hidup timbul karena kecerobohan manusia dalam pengelolaan lingkungan hidup. Masalah hukum lingkungan dalam periode beberapa dekade akhir-akhir ini menduduki tempat perhatian dan sumber pengkajian yang tidak ada habis-habisnya, baik ditingkat regional, nasional maupun internasional, karena kondisi rusaknya lingkungan dan merosotnya daya dukung lingkungan semakin tinggi dan memprihatinkan.

Proses reformasi yang dilanjutkan dengan otonomi daerah seharusnya membawa kualitas kehidupan yang lebih baik. Namun yang terjadi sebaliknya bencana ekologis, seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan makin sering terjadi dan meluas di berbagai daerah. Tak hanya ditandai oleh naiknya angka bencana ekologis di berbagai daerah dan kepulauan yang melahirkan krisis berkepanjangan, tetapi juga gagalnya penegakkan hukum pada kasus-kasus utama lingkungan hidup. Dan salah satu penyebabnya adalah lemahnya UU Lingkungan Hidup. Faktor lain terjadinya kasus-kasus utama lingkungan hidup adalah karena masalah lingkungan yang harus diselesaikan secara holistic yang tidak hanya melibatkan multi stakeholder tapi juga multi dimensi dan bersifat jangka panjang.

Oleh karena itu, untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang lebih baik dengan mempertegas UU Lingkungan Hidup yang perlu didukung dalam bentuk perbaikan peraturan lingkungan dibawahnya, baik peraturan pemerintah maupun peraturan daerah yang berpotensi merusak lingkungan dan alam negeri ini.

Dengan adanya UU Lingkungan Hidup yang baru tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No.32 Tahun 2009 memberi terobosan baru bagi keberlangsungan lingkungan hidup dan kelestariannya, tetapi apakah UU Lingkungan Hidup yang baru ini bisa dipahami dan diterima oleh masyarakat yang bermacam-macam tingkatan, struktur, dan kultur.

Menurut Tasdyanto Rohadi (Ketua Umum Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia), survei terhadap tingkat pemahaman UU 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang sudah berlaku lebih dari 10 tahun menunjukkan 15 % masyarakat sebuah kota memahami UU tersebut dengan baik. Sebagian besar lagi, yaitu 25 % mengetahui judul tanpa mengetahui substansi pengaturan dengan baik. Yang menyedihkan adalah, sisanya, 60 % masyarakat kota tersebut tidak mengetahui judul dan substansi pengaturan dengan baik.

Survei yang telah dilakukan pada tahun 2009 tersebut menunjukkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat Indonesia terhadap Undang-undang Lingkungan Hidup sangat rendah, bahkan ada yang tidak tahu sama sekali. Lantas bagaimana dengan jumlah Undang-undang yang semakin bertambah banyak karena terus diproduksi oleh DPR dan Pemerintah? Logika yang bisa dipakai adalah tentunya masyarakat semakin sulit dan rumit memahami seluruh Undang-undang tersebut. Dikarenakan banyak membuat Undang-undang, tetapi sosialisasi dan implikasi tidak dirasakan oleh masyarakat.

Rakyat Indonesia harus merasa puas dan bangga terhadap isi dan kualitas Undang-undang yang melindungi dan mengelola lingkungan hidup Indonesia yang telah disahkan oleh DPR dan Pemerintah. Apabila dibandingkan dengan bangsa dan negara lain, Undang-undang tersebut setara dengan Environmental Management Act (1999) yang dimiliki Bangsa Belanda maupun Kankyo Kihon Ho (1993) yang dimiliki Bangsa Jepang. Isi Undang-undang tersebut sangat komprehensif. Konsep perlindungan yang ditambahkan di dalamnya semakin mempertajam muatan dan maknanya. Seluruh instrumen kebijakan pengelolaan lingkungan hidup, dari hulu sampai hilir, telah terakomodir dan terpayungi di dalamnya.

Yang paling utama untuk diberi penghargaan adalah semakin beraninya Undang-undang ini merebut wilayah perencanaan, dengan memunculkan instrumen wajib Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) yang diintegrasikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP).

Selain itu, juga ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagai dasar untuk mengeluarkan izin usaha dan izin lingkungan. Dengan adanya izin lingkungan dan izin usaha,� telah memberi "taring" bagi para pengambil kebijakan untuk melindungi lingkungan hidup yang semakin hari semakin memprihatinkan. Kemudian ditambahnya kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup (PPNS LH) untuk menangkap dan menahan tersangka juga mengoptimalkan langkah penegakan hukum lingkungan. Demikian juga dengan semakin jelasnya kriteria pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup akan semakin mempermudah aparat penegak hukum untuk menjerat para pelanggar Undang-undang ini.

Langkah-langkah Menghidupkan Undang-undang Lingkungan Hidup
Penting untuk diperhatikan dalam implementasi Undang-undang ini adalah struktur dan kultur masyarakat Indonesia yang sesungguhnya sangat berbeda dengan bangsa dan negara lain di belahan dunia. Kualitas UU PPLH No 32 Tahun 2009 cukup sulit untuk menghasilkan tingkat pemahaman dan penaatan yang sama kepada seluruh masyarakat. Setidak-tidaknya mereka mengetahui Undang-undang lingkungan hidup yang baru ini

Dalam kenyataan di lapangan, masyarakat kota memiliki struktur dan kultur yang sangat beragam. Secara umum, struktur masyarakat kota terdiri dari masyarakat rasional dan tradisional. Atau bila dielaborasi lebih lanjut, sesungguhnya terdiri dari komunitas agama, berpendidikan, bisnis, dan kampung.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa cara menyelenggarakan kebijakan kepada masing-masing segmen tersebut membutuhkan cara dan strategi yang berbeda. UU PPLH yang sangat bernuansa ilmiah dan akademis hanya akan mampu dipahami oleh komunitas rasional. Hanya sayangnya komunitas rasional di perkotaan tidak lebih dari 30 %. Bahkan di desa-desa, komunitas rasional tidak melebihi dari 5 %.

Jika memperhatikan faktor kaya dan miskin, akan lebih mengkhawatirkan lagi. Tesis yang kuat menegaskan bahwa penduduk miskin akan lebih sulit menaati sebuah regulasi lingkungan hidup, tanpa intervensi yang tepat dari Pemerintah. Menurut catatan World Bank, persentase penduduk miskin di perkotaan Indonesia terus meningkat, pada tahun 2020 proporsinya diproyeksikan mencapai 40 %. Jika Pemerintah tidak tanggap terhadap kondisi ini, maka tingkat pemahaman dan ketaatan masyarakat terhadap UU PPLH nantinya akan semakin kecil.

Di sisi lain, Data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta pada tahun 2009, menunjukkan ternyata kini penduduk kota pun banyak terkena penyakit stres/gangguan jiwa. Di Kota Jakarta, 14 % penduduknya, atau sekitar 1,33 juta jiwa, mengalami gangguan jiwa ringan sampai berat. Fakta ini juga harus menjadi catatan sendiri dalam upaya mengimplementasikan Undang-undang tersebut.

Ilustrasi di atas untuk menegaskan bahwa faktor tradisionalitas, rasionalitas, dan kemiskinan harus menjadi catatan penting dalam upaya mengimplementasikan Undang-undang lingkungan hidup dengan baik. Komunitas bisnis tentunya menuntut pembahasaan profit dan komunitas agama yang perlu pembahasaan ibadah dalam aktivitas pengelolaan lingkungan hidupnya. Demikian juga dengan komunitas kampung yang lebih menuntut kepeloporan dan contoh perilaku dari tokoh masyarakat dan para Pejabat. Tesis besar yang dapat ditegaskan adalah bahwa keragaman sosial dan budaya menuntut pendekatan cerdas yang berbeda untuk menghidupkan UU PPLH.

Lawrence Friedmen menyatakan efektivitas penegakan hukum ditentukan secara akumulatif oleh tiga komponen, yaitu :
  1. Struktur hukum yang mendukung (structure of law),
  2. Substansi peraturan (content of law), dan
  3. Kultur hukum (culture of law).

UU PPLH tersebut sangat memungkinkan dapat menjadi frame work perbaikan lingkungan hidup di Indonesia. Langkah yang harus dilakukan Pemerintah dengan seluruh komponen pelaku lingkungan hidup selanjutnya untuk menghidupkan UU Lingkungan Hidup adalah sebagai berikut:
  1. Menyusun strategi implementasi UU PPLH kepada masyarakat
  2. Mengembangkan pendidikan lingkungan hidup (PLH)
  3. Menjalin kerja sama dengan sekolah-sekolah dan guru untuk mengembangkan materi lingkungan hidup yang bisa dimasukan dalam berbagai bidang studi yang terkait
  4. Program pendidikan lingkungan harus dikembangkan sesuai dengan falsafah dan tujuan pembangunan nasional yang didasarkan pada bidang ekonomi, sosial, budaya, politik dan lingkungan di daerah masing-masing
  5. Materi, pendekatan, dan metodologi pendidikan dikembangkan sesuai dengan perubahan aspirasi dan sistem nilai yang terjadi di masyarakat
  6. Meningkatkan upaya penegakan hukum lingkungan secara konsisten terhadap pencemar dan perusak lingkungan
  7. Menguatkan akses masyarakat terhadap informasi lingkungan hidup
  8. Pengendalian pencemaran lingkungan untuk mendorong sumber pencemar memenuhi baku mutu, menggunakan bahan baku yg ramah lingkungan dan meningkatkan kapasitas daerah di bidang pengendalian pencemaran
  9. Konservasi sumber daya alam dan pengendalian kerusakan lingkungan melalui kebijakan insentif dan disinsentif dan membangun income generating masyarakat dalam menunjang keberhasilan konservasi dan pemulihan kerusakan lingkungan

Kelengkapan instrumen pengaturan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada Undang-undang baru tersebut, sesungguhnya membutuhkan komponen pelaku lingkungan hidup, pemerintah, dan khususnya Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang mampu menjadi "dirigent lagu lingkungan hidup" yang selaras dengan budaya Nusantara.

Semoga dengan adanya UU Lingkungan Hidup yang baru tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No.32 Tahun 2009 memberi terobosan baru bagi keberlangsungan lingkungan hidup dan kelestariannya serta sosialisasi dan implikasi Undang-undang ini dirasakan dan dipahami oleh masyarakat.(*)

Kamis, 26 Januari 2012

Lombok Barat Car Free Day

Kelestarian lingkungan hidup adalah tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat. Dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mencintai lingkungannya dengan mengurangi aktifitas penggunaan kendaraan bermotor yang mana diketahui bahwa kendaraan bermotor merupakan salah satu penyumbang polusi udara, maka Sat Lantas Lombok Barat bekerja sama dengan Badan Lingkungan Hidup, Dishub Kominfo serta instansi-instasi terkait Kabupaten Lombok Barat berinisiatif membuat kegiatan Car Free Day yang berlokasi di jalan Soekarno – Hatta (depan kantor Bupati Lombok Barat). Dengan kegiatan ini diharapkan dapat menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya lingkungan hidup yang sehat, serta kearifan dalam menggunakan kendaraan bermotor. Selain itu melalui kegiatana Car Free Day ini akan memberi manfaat kepada masyarakat, baik itu manfaat ekonomi, kesehatan, kreatifitas, budaya dan seni serta terciptanya ruang publik agar masyarakat dapat saling berinteraksi.

 
LPPL. Diberdayakan oleh Blogger.