Jumat, 27 Januari 2012

Langkah-langkah Menghidupkan Undang-undang Lingkungan Hidup


LINGKUNGAN hidup Indonesia yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia, merupakan rahmat dari pada-Nya dan wajib dikembangkan serta dilestarikan kemampuannya agar dapat menjadi sumber dan penunjang hidup bagi Bangsa dan Rakyat Indonesia serta makhluk lainnya, demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri.

Masalah lingkungan hidup timbul karena kecerobohan manusia dalam pengelolaan lingkungan hidup. Masalah hukum lingkungan dalam periode beberapa dekade akhir-akhir ini menduduki tempat perhatian dan sumber pengkajian yang tidak ada habis-habisnya, baik ditingkat regional, nasional maupun internasional, karena kondisi rusaknya lingkungan dan merosotnya daya dukung lingkungan semakin tinggi dan memprihatinkan.

Proses reformasi yang dilanjutkan dengan otonomi daerah seharusnya membawa kualitas kehidupan yang lebih baik. Namun yang terjadi sebaliknya bencana ekologis, seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan makin sering terjadi dan meluas di berbagai daerah. Tak hanya ditandai oleh naiknya angka bencana ekologis di berbagai daerah dan kepulauan yang melahirkan krisis berkepanjangan, tetapi juga gagalnya penegakkan hukum pada kasus-kasus utama lingkungan hidup. Dan salah satu penyebabnya adalah lemahnya UU Lingkungan Hidup. Faktor lain terjadinya kasus-kasus utama lingkungan hidup adalah karena masalah lingkungan yang harus diselesaikan secara holistic yang tidak hanya melibatkan multi stakeholder tapi juga multi dimensi dan bersifat jangka panjang.

Oleh karena itu, untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang lebih baik dengan mempertegas UU Lingkungan Hidup yang perlu didukung dalam bentuk perbaikan peraturan lingkungan dibawahnya, baik peraturan pemerintah maupun peraturan daerah yang berpotensi merusak lingkungan dan alam negeri ini.

Dengan adanya UU Lingkungan Hidup yang baru tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No.32 Tahun 2009 memberi terobosan baru bagi keberlangsungan lingkungan hidup dan kelestariannya, tetapi apakah UU Lingkungan Hidup yang baru ini bisa dipahami dan diterima oleh masyarakat yang bermacam-macam tingkatan, struktur, dan kultur.

Menurut Tasdyanto Rohadi (Ketua Umum Ikatan Ahli Lingkungan Hidup Indonesia), survei terhadap tingkat pemahaman UU 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang sudah berlaku lebih dari 10 tahun menunjukkan 15 % masyarakat sebuah kota memahami UU tersebut dengan baik. Sebagian besar lagi, yaitu 25 % mengetahui judul tanpa mengetahui substansi pengaturan dengan baik. Yang menyedihkan adalah, sisanya, 60 % masyarakat kota tersebut tidak mengetahui judul dan substansi pengaturan dengan baik.

Survei yang telah dilakukan pada tahun 2009 tersebut menunjukkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat Indonesia terhadap Undang-undang Lingkungan Hidup sangat rendah, bahkan ada yang tidak tahu sama sekali. Lantas bagaimana dengan jumlah Undang-undang yang semakin bertambah banyak karena terus diproduksi oleh DPR dan Pemerintah? Logika yang bisa dipakai adalah tentunya masyarakat semakin sulit dan rumit memahami seluruh Undang-undang tersebut. Dikarenakan banyak membuat Undang-undang, tetapi sosialisasi dan implikasi tidak dirasakan oleh masyarakat.

Rakyat Indonesia harus merasa puas dan bangga terhadap isi dan kualitas Undang-undang yang melindungi dan mengelola lingkungan hidup Indonesia yang telah disahkan oleh DPR dan Pemerintah. Apabila dibandingkan dengan bangsa dan negara lain, Undang-undang tersebut setara dengan Environmental Management Act (1999) yang dimiliki Bangsa Belanda maupun Kankyo Kihon Ho (1993) yang dimiliki Bangsa Jepang. Isi Undang-undang tersebut sangat komprehensif. Konsep perlindungan yang ditambahkan di dalamnya semakin mempertajam muatan dan maknanya. Seluruh instrumen kebijakan pengelolaan lingkungan hidup, dari hulu sampai hilir, telah terakomodir dan terpayungi di dalamnya.

Yang paling utama untuk diberi penghargaan adalah semakin beraninya Undang-undang ini merebut wilayah perencanaan, dengan memunculkan instrumen wajib Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) yang diintegrasikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) serta Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP).

Selain itu, juga ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagai dasar untuk mengeluarkan izin usaha dan izin lingkungan. Dengan adanya izin lingkungan dan izin usaha,� telah memberi "taring" bagi para pengambil kebijakan untuk melindungi lingkungan hidup yang semakin hari semakin memprihatinkan. Kemudian ditambahnya kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup (PPNS LH) untuk menangkap dan menahan tersangka juga mengoptimalkan langkah penegakan hukum lingkungan. Demikian juga dengan semakin jelasnya kriteria pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup akan semakin mempermudah aparat penegak hukum untuk menjerat para pelanggar Undang-undang ini.

Langkah-langkah Menghidupkan Undang-undang Lingkungan Hidup
Penting untuk diperhatikan dalam implementasi Undang-undang ini adalah struktur dan kultur masyarakat Indonesia yang sesungguhnya sangat berbeda dengan bangsa dan negara lain di belahan dunia. Kualitas UU PPLH No 32 Tahun 2009 cukup sulit untuk menghasilkan tingkat pemahaman dan penaatan yang sama kepada seluruh masyarakat. Setidak-tidaknya mereka mengetahui Undang-undang lingkungan hidup yang baru ini

Dalam kenyataan di lapangan, masyarakat kota memiliki struktur dan kultur yang sangat beragam. Secara umum, struktur masyarakat kota terdiri dari masyarakat rasional dan tradisional. Atau bila dielaborasi lebih lanjut, sesungguhnya terdiri dari komunitas agama, berpendidikan, bisnis, dan kampung.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa cara menyelenggarakan kebijakan kepada masing-masing segmen tersebut membutuhkan cara dan strategi yang berbeda. UU PPLH yang sangat bernuansa ilmiah dan akademis hanya akan mampu dipahami oleh komunitas rasional. Hanya sayangnya komunitas rasional di perkotaan tidak lebih dari 30 %. Bahkan di desa-desa, komunitas rasional tidak melebihi dari 5 %.

Jika memperhatikan faktor kaya dan miskin, akan lebih mengkhawatirkan lagi. Tesis yang kuat menegaskan bahwa penduduk miskin akan lebih sulit menaati sebuah regulasi lingkungan hidup, tanpa intervensi yang tepat dari Pemerintah. Menurut catatan World Bank, persentase penduduk miskin di perkotaan Indonesia terus meningkat, pada tahun 2020 proporsinya diproyeksikan mencapai 40 %. Jika Pemerintah tidak tanggap terhadap kondisi ini, maka tingkat pemahaman dan ketaatan masyarakat terhadap UU PPLH nantinya akan semakin kecil.

Di sisi lain, Data dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta pada tahun 2009, menunjukkan ternyata kini penduduk kota pun banyak terkena penyakit stres/gangguan jiwa. Di Kota Jakarta, 14 % penduduknya, atau sekitar 1,33 juta jiwa, mengalami gangguan jiwa ringan sampai berat. Fakta ini juga harus menjadi catatan sendiri dalam upaya mengimplementasikan Undang-undang tersebut.

Ilustrasi di atas untuk menegaskan bahwa faktor tradisionalitas, rasionalitas, dan kemiskinan harus menjadi catatan penting dalam upaya mengimplementasikan Undang-undang lingkungan hidup dengan baik. Komunitas bisnis tentunya menuntut pembahasaan profit dan komunitas agama yang perlu pembahasaan ibadah dalam aktivitas pengelolaan lingkungan hidupnya. Demikian juga dengan komunitas kampung yang lebih menuntut kepeloporan dan contoh perilaku dari tokoh masyarakat dan para Pejabat. Tesis besar yang dapat ditegaskan adalah bahwa keragaman sosial dan budaya menuntut pendekatan cerdas yang berbeda untuk menghidupkan UU PPLH.

Lawrence Friedmen menyatakan efektivitas penegakan hukum ditentukan secara akumulatif oleh tiga komponen, yaitu :
  1. Struktur hukum yang mendukung (structure of law),
  2. Substansi peraturan (content of law), dan
  3. Kultur hukum (culture of law).

UU PPLH tersebut sangat memungkinkan dapat menjadi frame work perbaikan lingkungan hidup di Indonesia. Langkah yang harus dilakukan Pemerintah dengan seluruh komponen pelaku lingkungan hidup selanjutnya untuk menghidupkan UU Lingkungan Hidup adalah sebagai berikut:
  1. Menyusun strategi implementasi UU PPLH kepada masyarakat
  2. Mengembangkan pendidikan lingkungan hidup (PLH)
  3. Menjalin kerja sama dengan sekolah-sekolah dan guru untuk mengembangkan materi lingkungan hidup yang bisa dimasukan dalam berbagai bidang studi yang terkait
  4. Program pendidikan lingkungan harus dikembangkan sesuai dengan falsafah dan tujuan pembangunan nasional yang didasarkan pada bidang ekonomi, sosial, budaya, politik dan lingkungan di daerah masing-masing
  5. Materi, pendekatan, dan metodologi pendidikan dikembangkan sesuai dengan perubahan aspirasi dan sistem nilai yang terjadi di masyarakat
  6. Meningkatkan upaya penegakan hukum lingkungan secara konsisten terhadap pencemar dan perusak lingkungan
  7. Menguatkan akses masyarakat terhadap informasi lingkungan hidup
  8. Pengendalian pencemaran lingkungan untuk mendorong sumber pencemar memenuhi baku mutu, menggunakan bahan baku yg ramah lingkungan dan meningkatkan kapasitas daerah di bidang pengendalian pencemaran
  9. Konservasi sumber daya alam dan pengendalian kerusakan lingkungan melalui kebijakan insentif dan disinsentif dan membangun income generating masyarakat dalam menunjang keberhasilan konservasi dan pemulihan kerusakan lingkungan

Kelengkapan instrumen pengaturan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada Undang-undang baru tersebut, sesungguhnya membutuhkan komponen pelaku lingkungan hidup, pemerintah, dan khususnya Kementerian Negara Lingkungan Hidup yang mampu menjadi "dirigent lagu lingkungan hidup" yang selaras dengan budaya Nusantara.

Semoga dengan adanya UU Lingkungan Hidup yang baru tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No.32 Tahun 2009 memberi terobosan baru bagi keberlangsungan lingkungan hidup dan kelestariannya serta sosialisasi dan implikasi Undang-undang ini dirasakan dan dipahami oleh masyarakat.(*)

Ditulis Oleh : LPPL Matarm // 00.03
Kategori:

1 komentar:

 
LPPL. Diberdayakan oleh Blogger.